#13 Maret untuk Mei: Ah, Mei. What Can I Say?
"Kapan terakhir kali kau merasa bebas?" lontarnya sambil membereskan piring-piring sisa makanan di meja. Aku tak jadi bersendawa. Mungkin, ini jebakan. Mei dan pertanyaan liarnya, selalu. Tak ada yang bisa menahan itu.
"Mungkin, saat aku benar-benar lepas dari rutinitas. Seperti melakukan apa yang benar-benar aku suka" jawabku. Tidak menjawab yang dia mau, sebenarnya. Di sana, tidak ada keterangan waktu.
Dia tersenyum. Apa aku salah bicara? Oh, Tuhan. Dia cantik sekali. Kecantikan yang merusak rasionalitas dan objektivitasku.
"Kenapa bertanya demikian? Apa kau sedang tak bahagia?"
"Bagiku dan denganmu, tidak ada alasan untuk tidak bahagia" gumamnya teduh bersamaan dengan rintik hujan yang jatuh dengan berisik. Awan meninabobokan langit. Angin mengetuk daun jendela. Dia berlari mengangkat setumpuk cucian kering, melemparnya ke dalam keranjang, dan berlari tanpa jeda - lebih kencang menuju keluar rumah.
Lama sekali. Dia belum kembali.
Aku mulai khawatir, mengambil payung, dan menyusulnya keluar.
"Mei, apa yang kau lakukan?"
Dia berdiri menikmati hujan. Dia biarkan pakaiannya basah. Dia terlihat bahagia, bahagia sekali.
"Kapan terakhir kali kau menikmati hujan? Ah, this... Aku merasa bebas, bebas sekali!"
"Nanti kau sakit..."
"Ayo kesini..."
"Mei..."
"Jangan takut. Kalau aku sakit kan ada kamu. Selama ada kamu, aku tak takut"
Lalu aku membiarkan kepalaku sejenak dipukuli hujan sambil memastikan dia berada di pelukan. Aku harus menahan lenganku agar dia tak kedinginan dan pelan-pelan membujuknya masuk ke dalam rumah.
"Sudah puas?"
Dia mengangguk. "Terima kasih, Maret. Am I weird?"
"No. You are special"
Dia bersin-bersin.
"Sebenarnya... tadi aku hanya mau dipeluk di bawah hujan! You've been so busy these days you know. Aku seperti kehilangan dirimu, huh! Dan kamu, dengan kebebasanmu, bersemangatlah jagoan!"
Ah, really?
Sore itu, dia membuatkanku segelas kopi dan dua piring pancake.
.
.
.
Ah, Mei. What can I say? Even, I love you is not enough! :)
Complete chapters are here.
Cute picture taken from here.
"Mungkin, saat aku benar-benar lepas dari rutinitas. Seperti melakukan apa yang benar-benar aku suka" jawabku. Tidak menjawab yang dia mau, sebenarnya. Di sana, tidak ada keterangan waktu.
Dia tersenyum. Apa aku salah bicara? Oh, Tuhan. Dia cantik sekali. Kecantikan yang merusak rasionalitas dan objektivitasku.
"Kenapa bertanya demikian? Apa kau sedang tak bahagia?"
"Bagiku dan denganmu, tidak ada alasan untuk tidak bahagia" gumamnya teduh bersamaan dengan rintik hujan yang jatuh dengan berisik. Awan meninabobokan langit. Angin mengetuk daun jendela. Dia berlari mengangkat setumpuk cucian kering, melemparnya ke dalam keranjang, dan berlari tanpa jeda - lebih kencang menuju keluar rumah.
Lama sekali. Dia belum kembali.
Aku mulai khawatir, mengambil payung, dan menyusulnya keluar.
"Mei, apa yang kau lakukan?"
Dia berdiri menikmati hujan. Dia biarkan pakaiannya basah. Dia terlihat bahagia, bahagia sekali.
"Kapan terakhir kali kau menikmati hujan? Ah, this... Aku merasa bebas, bebas sekali!"
"Nanti kau sakit..."
"Ayo kesini..."
"Mei..."
"Jangan takut. Kalau aku sakit kan ada kamu. Selama ada kamu, aku tak takut"
Lalu aku membiarkan kepalaku sejenak dipukuli hujan sambil memastikan dia berada di pelukan. Aku harus menahan lenganku agar dia tak kedinginan dan pelan-pelan membujuknya masuk ke dalam rumah.
"Sudah puas?"
Dia mengangguk. "Terima kasih, Maret. Am I weird?"
"No. You are special"
Dia bersin-bersin.
"Sebenarnya... tadi aku hanya mau dipeluk di bawah hujan! You've been so busy these days you know. Aku seperti kehilangan dirimu, huh! Dan kamu, dengan kebebasanmu, bersemangatlah jagoan!"
Ah, really?
***
Sore itu, dia membuatkanku segelas kopi dan dua piring pancake.
.
.
Ah, Mei. What can I say? Even, I love you is not enough! :)
Complete chapters are here.
Cute picture taken from here.
Comments