#3 Maret untuk Mei: Pada Sebuah Juni

"tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni


dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu" 

- Sapardi Joko Damono 

***

Hujan baru saja reda sejak satu jam yang lalu. Udara beku bergesekan seperti ada serangkaian puji-pujian yang disampaikan rerumputan kepada langit.

"Sudah malam. Ayo pulang" ajak Maret sambil berjalan ke parkiran.

"Aku tidak pernah suka saat pulang" jawab Mei.

"Nanti kita bertemu lagi". Maret tersenyum simpul. Ada butiran hujan di dahinya.

Mei tidak mau menatap, "Semoga busnya tidak lama"

"Biar aku saja yang mengantar"

"Tapi kan jauh. Dingin lagi. Tidak usah"

"Biar aku yang mengantar"

"Tidak usah. Aku sendiri saja"

Maret menarik napas berat seperti menahan sesuatu. "Kamu selalu begitu. Kemana-mana sendirian. Sekarang aku sedang bisa mengantarmu malah tidak mau. Apa sih salahnya?"

Mei masih tidak mau menatap. Dia menunduk lama sekali.

***

Dan beberapa menit kemudian, mereka masih saja berada di sana.

"Sepeda motornya rusak!"

"Aku pulang sendiri saja, Maret. Tidak usah dipaksakan"

"Aku bisa memperbaikinya sekarang. Kamu tunggu saja" ujar Maret dengan nada keras sambil berkonsentrasi dengan perkakas yang selalu dibawanya.

"Tapi ini sudah malam"

"Karena sudah malam makanya aku yang mengantar!"

Mei memilih diam, lalu jongkok di belakang. Sayup-sayup terdengar suara Maret.

"Aku jarang sekali bisa mengantarkanmu. Boleh kan sekali-sekali? Aku ingin sekali mengantarmu. Ini pasti bisa kuperbaiki. Sabarlah"

Mei memandangi punggung Maret.

Dia masih tampak berusaha dan komat-kamit mengucap kata 'sabar' dan 'sebentar lagi'.

Mei hanya bisa tersenyum sambil menahan matanya yang basah.

"Terima kasih. Terima kasih, Maret. Terima kasih" ucapnya berulang-ulang dalam hati.

***

Comments

Popular Posts